Kamis, 22 Mei 2014

>>Surat Terbuka Nurmillaty Abadiah ke Pak Menteri Pendidikan Tentang UNAS

Diposting oleh yayan nurlian di 19.10 0 komentar


Sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS, saya justru punya banyak pertanyaan yang saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yang ingin saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak tidak perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu semua itu, karena saya akan menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda tanya yang menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya menjadi tiga poin penting...
Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yang tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membuat 20 soal yang berbeda, dengan tingkat kesulitan yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Biologi membuat 20 soal yang berbeda, dengan taraf kesulitan yang sama, hanya untuk satu indikator 'menjelaskan fungsi organel sel pada tumbuhan dan hewan'?
Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tidak mau akan ada satu tipe soal yang memuat pertanyaan dengan bobot lebih susah dari tipe lain. Hal ini jelas tidak adil untuk siswa yang kebetulan apes, kebetulan mendapatkan tipe dengan soal susah sedemikian itu. Sebab orang tidak akan pernah peduli apakah soal yang saya terima lebih susah dari si A atau tidak. Manusia itu makhluk yang seringkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang tidak akan pernah bertanya, 'tipe soalmu ada berapa nomor yang susah?' melainkan akan langsung bertanya, 'nilai UNASmu berapa?'.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa jika siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tidak akan bermasalah. Tapi coba ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat sebuah standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, 'kan? Untuk menetapkan sebuah garis yang akan jadi acuan bersama, 'kan? Sekarang, bagaimana bisa UNAS dijadikan patokan nasional saat antar paket saja ada ketidakmerataan bobot soal? Ini belum tentang ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.
Kedua, tentang pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yang, menurut saya, menyimpang dari SKL.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya tahu Bapak sudah mengklarifikasinya di twitter, bahwa soal tahun ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris di bagian kata 'sedikit' ini). Tapi, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot soal kami dinaikkan hanya sampai standard Internasional. Kedua, konfirmasi itu Bapak sampaikan setelah UNAS selesai. Saya jadi paham kenapa di sekolah saya disiapkan tabung oksigen selama pelaksanaan UNAS. Mungkin sekolah khawatir kami pingsan saking bahagianya menemui soal-soal itu, 'kan?
Bapak, saya tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti... apa yang ada di pikiran Bapak-Bapak semua saat membuat, menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak mengatakan di twitter Bapak, 'tiap tahun selalu ada keluhan siswa karena soal yang baru'. Tapi, Pak, sekali ini saja... sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dengan santai, kumpulkan contoh soal UNAS tahun dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan dua ribu empat belas. Dengan kepala dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan tingkat kesulitan dua ribu sebelas dengan dua ribu dua belas seperti apa. Perbedaan bobot dua ribu dua belas dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Dan pada akhirnya, coba perhatikan dan kaji baik-baik, perbedaan tipe dan taraf kerumitan soal dua ribu tiga belas dengan dua ribu empat belas itu seperti apa.
Kalau Bapak masih merasa tidak ada yang salah dengan soal-soal itu, saya ceritai sesuatu deh Pak. Bapak tahu tidak, saat hari kedua UNAS, saya sempat mengingat-ingat dua soal Matematika yang tidak saya bisa. Saya ingat-ingat sampai ke pilihan jawabannya sekalipun. Kemudian, setelah UNAS selesai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk menanyakan dua soal itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau dan saya tunggu. Lalu, hasilnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya setelah berkutat dengan dua soal itu selama sepuluh menit. Ya... beliau bilang ada yang salah dengan kedua soal itu. Tetapi yang ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan heran...
Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yang guru saya saja belum tentu bisa menjawabnya?
Tidak diuji dulukah kevalidan soal-soal UNAS itu?
Bapak ujikan ke siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester enam?
Lupakah Bapak bahwa nanti yang akan menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar kelas tiga SMA dari seluruh Indonesia?
Haruskah saya ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini masih ada banyak sekolah-sekolah yang jangankan mencicipi soal berstandard Internasional, dilengkapi dengan fasilitas pengajaran yang layak saja sudah sujud syukur?
Etiskah menuntut sebelum memberi?
Etiskah memberi kami soal berstandard Internasional di saat Bapak belum mampu memastikan bahwa seluruh Indonesia ini siap untuk soal setingkat itu?
Pada bagian ini, Bapak mungkin akan teringat dengan berita, 'Pelajar Mengatakan bahwa UNAS Menyenangkan'. Kemudian Bapak akan merasa tidak percaya dengan semua yang sudah saya katakan. Kalau sudah begitu, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tidak percaya kenapa ada yang bisa mengatakan bahwa UNAS kemarin menyenangkan. Awalnya saya malah mengira bahwa itu sarkasme, sebab sejujurnya, tidak sedikit teman-teman saya yang menangis sesudah mengerjakan Biologi. Mereka menangis lagi setelah Matematika dan Kimia. Lalu airmata mereka juga masih keluar seusai mengerjakan Fisika. Sekarang, di mana letak 'UNAS menyenangkan' itu? Bagi saya, hanya ada dua jawabannya; antara narasumber berita itu memang sangat pintar, atau dia menempuh jalan pintas...
Jalan pintas itu adalah hal ketiga yang menganggu pikiran saya selama UNAS ini. Sebuah bentuk kecurangan yang tidak pernah saya pahami mengapa bisa terjadi, yaitu joki.
Mengapa saya tidak paham joki itu bisa terjadi? Sebab, setiap tahun pemerintah selalu gembar-gembor bahwa "Soal UNAS aman! Tidak akan bocor! Pasti terjamin steril dan bersih!", tetapi ketika hari H pelaksanaan... voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus. Jika bocor itu paling-paling hanya lima puluh persen benar, ini ada joki yang bisa sampai sembilan puluh persen akurat. Sembilan puluh persen! Astaghfirullah hal adzim, itu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir. Kemudian ajaibnya pula, yang sudah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi hal ini sepanjang yang saya lihat baru satu: menambah tipe soal! Kalau sewaktu saya SD dulu tipe UNAS hanya satu, sewaktu SMP beranak-pinak menjadi lima. Puncaknya sewaktu SMA ini, berkembang-biak menjadi 20 paket soal. Pemerintah agaknya menganggap bahwa banyaknya paket soal akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS dapat berjalan mulus, murni, bersih, sebersih pakaian yang dicuci pakai detergen mahal.
Iya langsung bersih cling begitu, toh?
Nyatanya tidak.
Sekalipun dengan 20 paket soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus jawabannya. Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu saya, mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di tiap paket agar para siswa bisa mencari yang mana paket mereka. Lho, kok bisa? Ya entah. Tidak sampai di sana, jawaban yang mereka berikan pun bisa tembus sampai di atas sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah. Seperti yang saya bilang, kalau sudah sampai sembilan puluh persen akurat begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir bandang. Saat joki sudah bisa menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah sebuah misteri Ilahi jika pemerintah masih sanggup bersumpah tidak ada main-main dari pihak dalam.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya memang hanya pelajar biasa. Tapi saya juga bisa membedakan mana jawaban yang mengandalkan dukun dan mana jawaban yang didapat karena sempat melihat soal. Apa salah kalau akhirnya saya mempertanyakan kredibilitas tim penyusun dan pencetak soal? Sebab jujur saja, air hujan tidak akan menetesi lantai rumah jika tidak ada kebocoran di atapnya.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... tiga hal yang saya paparkan di atas sudah sejak lama menggumpal di hati dan pikiran saya, menggedor-gedor batas kemampuan saya, menekan keyakinan dan iman saya.
Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yang sedemikian inilah yang memacu kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tidak... saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman saya yang tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan diri pada materi yang diajarkan oleh para guru, dan berdoa dengan khusyuk. Tetapi setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan itu, tekad mereka luruh. Saat dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban yang disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tidak lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka... berharap Tuhan membantu.
Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yang terpaksa curang setelah mereka belajar tetapi soal yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yang tak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS, kami telah melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan dan doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yang benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UNAS kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih 'ah, ini bukan bidang saya', lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?
Tidak.
Tentu saja Bapak tidak sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sampai terpikir untuk membuat dua puluh paket soal, padahal lima paket saja belum tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sengaja meletakkan persentase UNAS di atas persentase nilai sekolah untuk nilai akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UNAS itu di atas kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan merasa perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya... mungkin Bapak bahkan tidak akan merasa perlu untuk mengadakan UNAS.
.........
.........
.........
Anda akan mengatakan kalimat klise itu, Pak, bahwa nilai itu tidak penting, yang penting itu kejujuran.
Tapi tahukah, bahwa kebijakan Bapak sangat kontradiktif dengan kata-kata Bapak itu? Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak meletakkan bobot UNAS (yang hanya berlangsung tiga hari tanpa jaminan bahwa siswa yang menjalani berada dalam kondisi optimalnya) di atas bobot nilai sekolah (yang selama tiga tahun sudah susah payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir kami. Bapak secara tidak langsung menekankan bahwa UNAS itu penting, dan itulah kenyataannya, Pak. Itulah kenyataan yang membuat kami, para pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak bahwa kepercayaan diri siswa mudah hancur? Pertahanan kami semakin remuk ketika kami dihadapkan oleh soal yang berada di luar pengalaman kami. Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelumnya? Bahwa soal yang di luar kemampuan kami, soal yang luput Bapak sosialisasikan kepada kami meskipun persiapan UNAS tidak hanya satu-dua minggu dan Bapak sebetulnya punya banyak kesempatan jika saja Bapak mau, sesungguhnya bisa membuat kami mengalami mental breakdown yang sangat kuat? Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelum memutuskan untuk mengeluarkan soal-soal tidak berperikesiswaan itu dalam UNAS, yang notabene adalah penentu kelulusan kami?
Pada akhirnya, Pak, izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yang sudah Bapak lakukan sejauh ini tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yang masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tidak tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan yang baik, apa yang Bapak lakukan dengan UNAS selama tiga hari ini justru mengarahkan kami kepada jati diri yang buruk. Tingkat kesulitan yang belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yang tidak pernah diusut sampai tuntas letak kebocorannya, paket soal yang belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru mengarahkan kami, para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh target lulus seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dengan sekolah lain yang kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tidak dipersulit.
Sampai sini, masih beranikah Bapak katakan bahwa tidak ada yang salah dengan UNAS? Ada yang salah, Pak. Ada lubang yang menganga sangat besar tidak hanya pada UNAS tetapi juga pada sistem pendidikan di negeri ini. Siapa yang salah? Barangkali sekolah yang salah, karena telah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yang tak benar. Barangkali kami yang salah, karena kami terlalu pengecut untuk mempertahankan kejujuran. Barangkali joki-joki itu yang salah, karena mereka menjual kecurangan dan melecehkan ilmu untuk mendapat uang.
Tapi tidak salah jugakah pemerintah? Tidak salah jugakah tim penyusun UNAS? Tidak salah jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Bukankah sudah menjadi tugas Bapak selaku yang berwenang untuk memastikan bahwa kesempatan untuk berlaku curang itu tidak ada?
Mungkin Bapak tidak akan percaya pada saya, dan Bapak akan berkata, "Kita lihat saja hasilnya nanti."
Kemudian sebulan lagi ketika hasil yang keluar membahagiakan, ketika angka delapan dan sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semua protes yang saya sampaikan. Bapak akan menganggap ini semua angin lalu. Bapak akan berpesta di atas grafik indah itu, menggelar ucapan selamat kepada mereka yang lulus, kepada tim UNAS, kepada diri Bapak sendiri, dan Bapak akan lupa. Bapak yang saya yakin sudah berkali-kali mendengar pepatah 'don't judge a book by its cover', akan lupa untuk melihat ke balik kover indah itu. Bapak akan melupakan kemungkinan bahwa yang Bapak lihat itu adalah hasil kerja para 'ghost writer UNAS'. Bapak akan lupa untuk bertanya kepada diri Bapak, berapa persen dari grafik itu yang mengerjakan dengan jujur? Kemudian Bapak akan memutuskan bahwa Indonesia sudah siap dengan UNAS berstandard Internasional, padahal kenyataannya belum. Joki-jokinyalah yang sudah siap, bukan kami. Mengerikan bukan, Pak, efek dari tidak terusut tuntasnya joki di negeri ini? Mengerikan bukan, Pak, ketika kebohongan menjelma menjadi kebenaran semu?
Bapak, tiga hari ini, kami yang jujur sudah menelan pil pahit. Pil pahit karena ketika kami berusaha begitu keras, beberapa teman kami dengan nyamannya tertidur pulas karena sudah mendapat wangsit sebelum ulangan. Pil pahit karena ketika kami masih harus berjuang menjawab beberapa soal di waktu yang semakin sempit, beberapa teman kami membuat keributan dengan santai, sedangkan para pengawas terlalu takut untuk menegur karena sudah ada perjanjian antar sekolah. Pil pahit, karena kami tidak tahu hasil apa yang akan kami terima nanti, apakah kami bisa tersenyum, ataukah harus menangis lagi...
Berhentilah bersembunyi di balik kata-kata, "Saya percaya masih ada yang jujur di generasi muda kita". Ya ampun Pak, kalau hanya itu saya juga percaya. Tetapi masalahnya bukan ada atau tidak ada, melainkan berapa, dan banyakan yang mana? Sebab yang akan Bapak lihat di grafik itu adalah grafik mayoritas. Bagaimana jika mayoritas justru yang tidak jujur, Pak? Cobalah, untuk kali ini saja tanyakan ke dalam hati Bapak, berapa persen siswa yang bisa dijamin jujur dalam UNAS, dibandingkan dengan yang hanya jujur di atas kertas?
(Ngomong-ngomong, Pak, banyak dosa bisa menyebabkan negara celaka. Kalau mau membantu mengurangi dosa masyarakat Indonesia, saya punya satu usul efektif. Hapuskan kolom 'saya mengerjakan ujian dengan jujur' dari lembar jawaban UNAS.)
UNAS bukan hal remeh, Pak, sama sekali bukan; terutama ketika hasilnya dijadikan parameter kelulusan siswa, parameter hasil belajar tiga tahun, sekaligus pertimbangan layak tidaknya kami untuk masuk universitas tujuan kami. Jika derajat UNAS diletakkan setinggi itu, mestinya kredibilitas UNAS juga dijunjung tinggi pula. Mestinya tak ada cerita tentang soal bocor, bobot tidak merata, dan tingkat kesulitan luput disosialisasikan ke siswa.
Kejujuran itu awalnya sakit, tapi buahnya manis.
Dan saya tahu itu, Pak.
Tapi bukankah Pengadilan Negeri tetap ada meski kita semua tahu keadilan pasti akan menang?
Bukankah satuan kepolisian masih terus merekrut polisi-polisi baru meski kita semua tahu kebenaran pasti akan menang?
Dan bukankah itu tugas Bapak dan instansi-instansi pendidikan, untuk menunjukkan pada kami, para generasi muda, bahwa kejujuran itu layak untuk dicoba dan tidak mustahil untuk dilakukan?
Kejujuran itu awalnya sakit, buahnya manis.
Tapi itu bukan alasan bagi Bapak untuk menutup mata terhadap kecurangan yang terjadi di wilayah kewenangan Bapak.
Kami yang berusaha jujur masih belum tahu bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Tapi barangkali hal itu terlalu remeh jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri yang bejibun dan jauh lebih berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman pelajar cuma satu; tolong, perbaikilah UNAS, perbaikilah sistem pendidikan di negeri ini, dan kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan pada kami bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang tidak akan diam saat melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya. Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba...
Dari anakmu yang meredam sakit,
Pelajar yang baru saja mengikuti UNAS.

Rabu, 06 Maret 2013

7 kebiasaan yang memperkaya hidup

Diposting oleh yayan nurlian di 08.19 0 komentar


Files under Cerita Motivasi, Tips | Posted by admin
7 kebiasaan yang memperkaya hidup
1. Kebiasaan mengucap syukur.
Ini adalah kebiasaan istimewa yang bisa mengubah hidup selalu menjadi lebih baik. Bahkan agama mendorong kita bersyukur tidak saja untuk hal-hal yang baik , tapi juga dalam kesussahan dan hari-hari yang buruk.. Ada rahasia besar dibalik ucapan syukur yang sudah terbukti sepanjang sejarah. Hellen Keller yang buta dan tuli sejak usia dua tahun , telah menjadi orang yang terkenal dan dikagumi diseluruh dunia. Salah satu ucapannya yang banyak memotivasi orang adalah “Aku bersyukur atas cacat-cacat ini aku menemukan diriku, pekerjaanku dan Tuhanku”. Memang sulit untuk bersyukur,namun kita bisa belajar secara bertahap. Mulailah mensyukuri kehidupan, mensyukuri berkat , kesehatan, keluarga, sahabat dsb. Lama kelamaan Anda bahkan bisa bersyukur atas kesusahan dan situasi yang buruk.
2. Kebiasaan berpikir positif.
Hidup kita dibentuk oleh apa yang paling sering kita pikirkan. Kalau selalu berpikiran positif, kita cenderung menjadi pribadi yang yang positif. Ciri-ciri dari pikiran yang positif selalu mengarah kepada kebenaran, kebaikan, kasih sayang, harapan dan suka cita. Sering-seringlah memantau apa yang sedang Anda pikirkan. Kalau Anda terbenam dalam pikiran negatif, kendalikanlah segera kearah yang positif. Jadikanlah berpikir positif sebagai kebiasaan dan lihatlah betapa banyak hal-hal positif sebagai kebiasaan dan lihatlah betapa banyak hal-hal positif yang akan Anda alami.
3. Kebiasaan berempati.
Kemampuan berhubungan dengan orang lain merupakan kelebihan yang dimiliki oleh banyak orang sukses. Dan salah satu unsur penting dalam berhubungan dengan orang lain adalah empati, kemampuan atau kepekaan untuk memandang dari sudut pandang orang lain.Orang yang empati bahkan bisa merasakan perasaan orang lain . Orang yang empati bahkan bisa merasakan perasaan orang lain, mengerti keinginannya dan menangkap motif dibalik sikap orang lain. Ini berlawanan sekali dengan sikap egois , yang justru menuntut diperhatikan dan dimengerti orang lain. Meskipun tidak semua orang mudah berempati , namun kita bisa belajar dengan membiasakan diri melakukan tindakan-tindakan yang empatik. Misalnya, jadilah pendengar yang baik, belajarlah menempatkan diri pada posisi orang lain, belajarlah melakukan apa yang Anda ingin orang lain lakukankepada Anda, dsb.
4. Kebiasaan mendahulukan yang penting .
Pikirkanlah apa saja yang paling penting, dan dahulukanlah!. Jangan biarkan hidup Anda terjebak dalam hal-hal yang tidak penting sementara hal-hal yang penting terabaikan. Mulailah memilah-milah mana yang penting dan mana yg tidak, kebiasaan mendahulukan yang penting akan membuat hidup Anda efektif dan produktif dan meningkatkan citra diri Anda secara signifikan.
5. Kebiasaan bertindak.
Bila Anda sudah mempunyai pengetahuan , sudah mempunyai tujuan yang hendak dicapai dan sudah mempunyai kesadaran mengenai apa yang harus dilakukan , maka langkah selanjutnya adalah bertindak. Biasakan untuk mengahargai waktu, lawanlah rasa malas dengan bersikap aktif. Banyak orang yang gagal dalam hidup karena hanya mempunyai impian dan hanya mempunyai tujuan tapi tak mau melangkah.
6. Kebiasaan menabur benih.
Prinsip tabur benih ini berlaku dalam kehidupan. Pada waktunya Anda akan menuai yang Anda tabur. Bayangkanlah , betapa kayanya hidup Anda bila Anda selalu menebar benih ‘kebaikan’. Tapi sebaliknya, betapa miskinnya Anda bila rajin menabur keburukan.
7. Kebiasaan hidup jujur.
Tanpa kejujuran , kita tidak bisa menjadi pribadiyang utuh, bahkan bisa merusak harga diri dan masa depan Anda sendiri. Mulailah membiasakan diri bersikap jujur, tidak saja kepada diri sendir tapi juga terhadap orang lain. Mulailah mengatakan kebenaran, meskipun mengandung resiko. Bila Anda berbohong , kendalikanlah kebohongan Anda sedikit demi sedikit

Menunda Kesenangan Kecil Demi Kesuksesan Besar

Diposting oleh yayan nurlian di 07.50 0 komentar


Files under Cerita Motivasi | Posted by admin
Menunda Kesenangan Kecil Demi Kesuksesan BesarSeberapa banyak yang ingin kita raih di dalam hidup ini ?
Apakah kita telah puas dengan kondisi saat ini, ataukah masih ada keinginan untuk terus menggapai hal-hal baru, yang selama ini belum kita dapatkan ?
Dalam proses kita untuk mencapai tujuan itu, ada rintangan yang seringkali menghambat langkah kita sesaat. Saat kita bisa menyelesaikan rintangan itu, akan membuat langkah kita ke depan menjadi semakin kuat dan mantap. Tapi kadang-kadang, seringkali tanpa sadar, saat kita bisa menyelesaikan suatu masalah, kita merasa sudah puas dengan kondisi itu, dan langkah kita terhenti disana.
Kita seolah sudah lupa, bahwa tujuan utama kita sebenarnya belum tercapai. Ibaratnya, saat kita bersekolah, kita mendapat nilai sepuluh dalam sebuah test harian. Dan kita sudah cukup puas dengan nilai itu, padahal ujian-ujian itu tadi hanyalah proses-proses sementara, karena bukankah tujuan utama dalam bersekolah adalah naik kelas, dan lulus ? Kesenangan-2 kecil, tentu perlu juga dirayakan, karena bisa memberikan kebahagiaan, kebanggaan dan kesenangan sementara. Tapi tentu kita tidak boleh terlena di dalamnya lalu berhenti disana. Setelah kesenangan itu selesai dirayakan, kita harus kembali bekerja keras pada jalur utama yang kita tuju. Orang-orang yang sukses di dunia ini, mereka bahkan berani menunda kenikmatan kecil mereka, demi sebuah tujuan utama yang lebih besar.
Sebuah kisah nyata yang tepat bagaimana kita menunda kesenangan kecil demi mendapatkan kesuksesan yang lebih besar, adalah Sylvester Stallone. Dia memang kini salah satu aktor termahal di Hollywood, tapi tahukah anda bagaimana dia memulai karirnya ? Stallone lahir dari sebuah keluarga miskin di Amerika. Walau demikian, latar belakang keluarga tidak menghalanginya untuk bermimpi menjadi seorang bintang besar. Saat remaja, dia sudah sering mencoba casting di beberapa film murahan, namun itupun tidak pernah berhasil. Suatu saat, Stallone terinspirasi pada sebuah pertandingan tinju, yang membuatnya menulis tentang manuscipt film olahraga tinju, “Rocky”.
Setelah selesai, Stallone mencoba menawarkan skrip-nya kepada berbagai perusahaan film, tapi tidak ada yang mau membelinya, karena pada saat itu memang film dengan latar belakang tinju tidak laku di pasaran. Sampai akhirnya, ada sebuah perusahaan yang mau menawar harga naskah film tersebut sebesar 75.000 dollar, sejumlah uang yang nilainya puluhan kali lipat dari uang yang pernah dimiliki Stallone.
Saat itu, ada kebimbangan di dalam hatinya. Uang itu, cukup untuk membuatnya hidup lebih layak dan makmur. Tapi di sisi lain, Stallone ingin menjadi seorang bintang, seorang aktor terkenal, bukan seorang penulis naskah film. Jadi Stallone mencoba menawarkan kepada perusahaan film tersebut, agar dia yang menjadi aktor utamanya. Mereka menolak, karena mereka sudah memilih seorang aktor yang sudah berpengalaman untuk film tersebut, dibanding Stallone yang tidak punya latar belakang dan pengalaman di film. Negosiasi menjadi alot, karena Stallone menolak menjual naskah tersebut jika bukan dia yang menjadi pemeran utamanya. Bahkan saat harga naskah itu meningkat tiga kali lipat, dan terus meningkat hingga satu juta dollar, Stallone tetap menolaknya. Walau ia miskin dan lapar, tapi dia berani menolak uang satu juta dollar, hanya karena dia sudah punya impian yang kuat, bahwa dengan menjadi aktor, dia bisa memperoleh uang jauh lebih banyak dari uang satu juta dollar.
Akhirnya, perusahaan film itu menyerah juga, dan mereka mengijinkan Stallone menjadi pemeran utama, dengan syarat naskah itu dijual hanya dengan harga 35.000 dollar, serta Stallone hanya akan mendapat bayaran sebagai aktor sejumlah persentase tertentu jika film itu cukup laku di pasaran. Sebuah pilihan berisiko tinggi diambil oleh Stallone. Mengorbankan uang 75.000 dollar, dan hanya mendapatkan 35.000 dollar plus tambahan lagi beberapa ribu dollar jika film itu laris. Semua orang di sekitarnya mengatakan bahwa keputusan itu adalah keputusan terburuk yang pernah diambil Stallone. Tapi Stallone tidak menggubris itu semua, karena di hatinya dia tahu, bahwa yang dia lakukan ini hanyalah menunda kesenangan sesaat, untuk mendapatkan kesenangan lain yang lebih besar.
Pada waktu film Rocky diluncurkan, bukan saja film itu menjadi laris, tapi bahkan menjadi box office di seluruh dunia, dengan total penjualan bersih menjadi 171 juta dollar, meraih 10 nominasi untuk academy awards, serta mendapatkan satu piala Oscar. Secara spontan, Stallone langsung naik daun menjadi aktor kelas atas Hollywood, dan tawaran main film kelas satupun mulai berdatangan ke dirinya. Apa yang dialami oleh Sylvester Stallone adalah sebuah pilihan untuk berani menunda kesenangan-kesenang an kecil, dan berjuang untuk meraih kesuksesan yang lebih tinggi lagi.
Jangan pernah terjebak dengan kenyamanan sementara, yang kadang membuat kita merasa sudah puas, padahal bukan itu sebenarnya yang kita inginkan. Nikmati hasil sementaranya, tapi tetaplah punya visi ke depan yang jelas, untuk terus mengejarnya. Sukses untuk anda !


Minggu, 03 Maret 2013

Nilai Kehidupan

Diposting oleh yayan nurlian di 20.46 0 komentar


Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara. Pendidikan rendah, hidup dari bekerja sebagai buruh tani milik tuan tanah yang kaya raya. Walapun hidupnya sederhana tetapi sesungguhnya dia bisa melewati kesehariannya dengan baik.

Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa, dan tidak memiliki arti.

"Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri saja kehidupan ini," katanya dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat menggantung diri di sebatang pohon.

Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut. "Anak muda yang tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur ini. Sayang, bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ, bernyanyi riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini."

Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya."

Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah dedaunanku. Tolong jangan mati di sini."

Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, "Bahkan sebatang pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak patah, tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi makhluk lain".

Segera timbul kesadaran baru. "Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas aku melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan bekerja dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain".

Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.

=================================================

Kalau kita mengisi kehidupan ini dengan menggerutu, mengeluh, dan pesimis, tentu kita menjalani hidup ini (dengan) terasa terbeban dan saat tidak mampu lagi menahan akan memungkinkan kita mengambil jalan pintas yaitu bunuh diri.

Sebaliknya, kalau kita mampu menyadari sebenarnya kehidupan ini begitu indah dan menggairahkan, tentu kita akan menghargai kehidupan ini. Kita akan mengisi kehidupan kita, setiap hari penuh dengan optimisme, penuh harapan dan cita-cita yang diperjuangkan, serta mampu bergaul dengan manusia-manusia lainnya.

Maka, jangan melayani perasaan negatif. Usir segera. Biasakan memelihara pikiran positif, sikap positif, dan tindakan positif. Dengan demikian kita akan menjalani kehidupan ini penuh dengan syukur, semangat, dan sukses luar biasa!

Sumber : andriewongso.com

Pesan Ibu

Diposting oleh yayan nurlian di 20.46 0 komentar


Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, "Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya!"
"Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.
Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, "Tidak Dik, saya sudah kenyang."
Sambil terus mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om."
Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."
Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?"
"Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu."
Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu."
Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."
===================================================
Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.
Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.
Sumber : andriewongso.com

Kebiasaan yang Diulang

Diposting oleh yayan nurlian di 20.45 0 komentar


Di Tiongkok pada zaman dahulu kala, hidup seorang panglima perang yang terkenal karena memiliki keahlian memanah yang tiada tandingannya. Suatu hari, sang panglima ingin memperlihatkan keahliannya memanah kepada rakyat. Lalu diperintahkan kepada prajurit bawahannya agar menyiapkan papan sasaran serta 100 buah anak panah.
Setelah semuanya siap, kemudian Sang Panglima memasuki lapangan dengan penuh percaya diri, lengkap dengan perangkat memanah di tangannya.
Panglima mulai menarik busur dan melepas satu persatu anak panah itu ke arah sasaran. Rakyat bersorak sorai menyaksikan kehebatan anak panah yang melesat! Sungguh luar biasa! Seratus kali anak panah dilepas, 100 anak panah tepat mengenai sasaran.
Dengan wajah berseri-seri penuh kebanggaan, panglima berucap, "Rakyatku, lihatlah panglimamu! Saat ini, keahlian memanahku tidak ada tandingannya. Bagaimana pendapat kalian?"
Di antara kata-kata pujian yang diucapkan oleh banyak orang, tiba-tiba seorang tua penjual minyak menyelutuk, "Panglima memang hebat ! Tetapi, itu hanya keahlian yang didapat dari kebiasaan yang terlatih."
Sontak panglima dan seluruh yang hadir memandang dengan tercengang dan bertanya-tanya, apa maksud perkataan orang tua penjual minyak itu. Tukang minyak menjawab, "Tunggu sebentar!" Sambil beranjak dari tempatnya, dia mengambil sebuah uang koin Tiongkok kuno yang berlubang di tengahnya. Koin itu diletakkan di atas mulut botol guci minyak yang kosong. Dengan penuh keyakinan, si penjual minyak mengambil gayung penuh berisi minyak, dan kemudian menuangkan dari atas melalui lubang kecil di tengah koin tadi sampai botol guci terisi penuh. Hebatnya, tidak ada setetes pun minyak yang mengenai permukaan koin tersebut!
Panglima dan rakyat tercengang. Merela bersorak sorai menyaksikan demonstrasi keahlian si penjual minyak. Dengan penuh kerendahan hati, tukang minyak membungkukkan badan menghormat di hadapan panglima sambil mengucapkan kalimat bijaknya, "Itu hanya keahlian yang didapat dari kebiasaan yang terlatih! Kebiasaan yang diulang terus menerus akan melahirkan keahlian."
=============================================================,
Dari cerita tadi, kita bisa mengambil satu hikmah yaitu: betapa luar biasanya kekuatan kebiasaan. Habit is power!
Hasil dari kebiasaan yang terlatih dapat membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah dan apa yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Demikian pula, untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan, kita membutuhkan karakter sukses. Dan karakter sukses hanya bisa dibentuk melalui kebiasaan-kebiasaan seperti berpikir positif, antusias, optimis, disiplin, integritas, tanggung jawab, & lain sebagainya.
Mari kita siap melatih, memelihara, dan mengembangkan kebiasaan berpikir sukses dan bermental sukses secara berkesinambungan. Sehingga, karakter sukses yang telah terbentuk akan membawa kita pada puncak kesuksesan di setiap perjuangan kehidupan kita.
Sekali lagi: Kebiasaan yang diulang terus menerus, akan melahirkan keahlian!
Sumber : andriewongso.com

5 Ekor Monyet

Diposting oleh yayan nurlian di 20.44 0 komentar


monyet di resensi,netDalam suatu penelitian yang dilakukan oleh para profesor di USA, ada 2 ekor monyet yang dimasukkan ke dalam satu ruangan kosong secara bersama-2. Kita sebut saja monyet tersebut Monyet A dan B. Di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah tiang, dan diatas tiang tersebut nampak beberapa pisang yang sudah matang. Apa yang akan dilakukan oleh 2 monyet tersebut menurut anda ?
Setelah membiasakan diri dengan keadaan lingkungan di dalam ruangan tersebut, mereka mulai mencoba meraih pisang-2 tersebut. Monyet A yang mula-2 mencoba mendaki tiang. Begitu monyet A berada di tengah tiang, sang profesor menyemprotkan air kepadanya, sehingga terpleset dan jatuh. Monyet A mencoba lagi, dan disemprot, jatuh lagi, demikian berkali-2 sampai akhirnya monyet A menyerah. Giliran berikutnya monyet B yang mencoba, mengalami kejadian serupa, dan akhirnya menyerah pula.

Berikutnya ke dalam ruangan dimasukkan monyet C. Yang menarik adalah, para profesor tidak akan lagi menyemprot para monyet jika mereka naik. Begitu si monyet C mulai menyentuh tiang, dia langsung ditarik oleh monyet A dan B. Mereka berusaha mencegah, agar monyet C tidak mengalami `kesialan’ seperti mereka. Karena dicegah terus dan diberi nasehat tentang bahayanya bila mencoba memanjat keatas, monyet C akhirnya takut juga dan tidak pernah memanjat lagi.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh para profesor adalah mengeluarkan monyet A dan B, serta memasukkan monyet D dan E. Sama seperti monyet-2 sebelumnya, monyet D dan E juga tertarik dengan pisang diatas tiang dan mencoba memanjatnya. Monyet C secara spontan langsung mencegah keduanya agar tidak naik. “Hai, mengapa kami tidak boleh naik ?” protes keduanya”.
Ada teman-2 yang memberitahu saya, bahwa naik ke atas itu berbahaya. Saya juga tidak tahu, ada apa di atas, tapi lebih baik cari aman saja, jangan keatas deh” jelas monyet C.
Monyet D percaya dan tidak berani naik, tapi tidak demikian dengan monyet E yang memang bandel. “Saya ingin tahu, bahaya seperti apa sih, yang ada di atas … Dan kalau ada bahaya, masak iya saya tidak bisa menghindarinya ?” tegas monyet E. Walaupun sudah dicegah oleh monyet C dan D, monyet E nekad naik …
Dan karena memang sudah tidak disemprot lagi, monyet E bisa meraih pisang yang d iinginkannya…..
Renungan
================== Manakah diantara karakter diatas yang menggambarkan tingkah laku anda saat ini ?
Karakter A dan B adalah orang yang pernah melakukan sesuatu, dan gagal. Karena itu mereka kapok, tidak akan mengulanginya lagi, dan berusaha mengajarkan ke orang lain tentang kegagalan tersebut. Mereka tidak ingin orang lain juga gagal seperti mereka. Karakter C dan D, adalah orang yang menerima petunjuk dari orang lain, hal-2 apa yang tidak boleh dilakukan, dan mereka mematuhinya tanpa berani mencobanya sendiri. Karakter E adalah type orang yang tidak mudah percaya dengan sesuatu, sebelum mereka mencobanya sendiri. Mereka juga berani menentang arus dan menanggung resiko asalkan bisa mencapai keinginan mereka.
Pisang dalam cerita diatas menggambarkan impian kita. Setiap orang dalam hidup ini mempunyai impian yang tinggi tentang masa depannya. Namun sayangnya, banyak sekali hal-hal yang terjadi di sekitar kita, yang menyebabkan impian kita terkubur. Orang-2 dengan karakter ABCD akan mengatakan kepada kita hal-2 seperti ini”,Sudahlah, jangan melakukan pekerjaan yang sia-2 seperti itu. Percuma. Saya dulu sudah pernah melakukannya berkali-2 dan gagal. Sebagai seorang teman yang baik, saya tidak mau kamu gagal seperti saya” atau mungkin kalimat “Kamu mau gagal kayak si X … lebih baik lakukan sesuatu yang pasti-pasti saja deh”. Bukankah hal-2 seperti itu yang sering kita dengar sehari-2 ?
Orang dengan karakter E akan selalu berpikir optimis dalam menjalankan sesuatu. “Kalaupun orang lain gagal melakukan sesuatu, belum tentu saya juga akan gagal” adalah kekuatan yang selalu memompa motivasinya.
Dan kegagalan orang lain dapat dipelajari dan dijadikan batu loncatan untuk melangkah lebih baik, bukannya dijadikan suatu ketakutan.
Nah, saya akan memberikan satu ilustrasi lagi. Saya akan membawa anda ke tahun 70-an. Apa yang akan anda lakukan, bila suatu hari ada seorang mahasiswa bercelana jeans, kacamata tebal, bertampang culun, bajunya lusuh, datang menemui anda dan berkata “Saya punya suatu produk yang bagus, tapi saya tidak punya modal. Mau gak pinjamin saya modal 100 dollar ? Kalau produk ini sukses, kita berdua bakal jadi orang paling kaya di dunia lho”.
Hampir semua akan menghina dan mentertawakan mahasiswa tsb, bahkan mungkin menganggapnya gila.
Berapa orang yang akan menjawab “Wow, bagus sekali, coba jelaskan apa rencana anda, agar kita bisa sama-2 kaya ?” Mungkin satu orang diantara sejuta, mungkin juga tidak ada.
Bagaimana kalau saya katakan bahwa mahasiswa tersebut adalah Bill Gates, yang kini sudah mencapai impiannya menjadi orang terkaya di dunia ?
Bukankah itu dulu yang dilakukan Bill Gates pada awal karirnya . Dikelilingi orang type ABCD, ditolak, dilecehkan, dan berbagai macam hinaan lainnya. Untungnya, Bill Gates termasuk orang dengan karakter E. Dan dengan pengorbanan dan kerja keras, dia berhasil meraih impiannya.
" Jangan biarkan orang lain membunuh impian anda. Maju terus, hadapi semua rintangan dan raih impian anda. "
Sumber : resensi.net

Kamis, 22 Mei 2014

>>Surat Terbuka Nurmillaty Abadiah ke Pak Menteri Pendidikan Tentang UNAS



Sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS, saya justru punya banyak pertanyaan yang saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yang ingin saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak tidak perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu semua itu, karena saya akan menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda tanya yang menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya menjadi tiga poin penting...
Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yang tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membuat 20 soal yang berbeda, dengan tingkat kesulitan yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Biologi membuat 20 soal yang berbeda, dengan taraf kesulitan yang sama, hanya untuk satu indikator 'menjelaskan fungsi organel sel pada tumbuhan dan hewan'?
Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tidak mau akan ada satu tipe soal yang memuat pertanyaan dengan bobot lebih susah dari tipe lain. Hal ini jelas tidak adil untuk siswa yang kebetulan apes, kebetulan mendapatkan tipe dengan soal susah sedemikian itu. Sebab orang tidak akan pernah peduli apakah soal yang saya terima lebih susah dari si A atau tidak. Manusia itu makhluk yang seringkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang tidak akan pernah bertanya, 'tipe soalmu ada berapa nomor yang susah?' melainkan akan langsung bertanya, 'nilai UNASmu berapa?'.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa jika siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tidak akan bermasalah. Tapi coba ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat sebuah standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, 'kan? Untuk menetapkan sebuah garis yang akan jadi acuan bersama, 'kan? Sekarang, bagaimana bisa UNAS dijadikan patokan nasional saat antar paket saja ada ketidakmerataan bobot soal? Ini belum tentang ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.
Kedua, tentang pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yang, menurut saya, menyimpang dari SKL.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya tahu Bapak sudah mengklarifikasinya di twitter, bahwa soal tahun ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris di bagian kata 'sedikit' ini). Tapi, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot soal kami dinaikkan hanya sampai standard Internasional. Kedua, konfirmasi itu Bapak sampaikan setelah UNAS selesai. Saya jadi paham kenapa di sekolah saya disiapkan tabung oksigen selama pelaksanaan UNAS. Mungkin sekolah khawatir kami pingsan saking bahagianya menemui soal-soal itu, 'kan?
Bapak, saya tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti... apa yang ada di pikiran Bapak-Bapak semua saat membuat, menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak mengatakan di twitter Bapak, 'tiap tahun selalu ada keluhan siswa karena soal yang baru'. Tapi, Pak, sekali ini saja... sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dengan santai, kumpulkan contoh soal UNAS tahun dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan dua ribu empat belas. Dengan kepala dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan tingkat kesulitan dua ribu sebelas dengan dua ribu dua belas seperti apa. Perbedaan bobot dua ribu dua belas dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Dan pada akhirnya, coba perhatikan dan kaji baik-baik, perbedaan tipe dan taraf kerumitan soal dua ribu tiga belas dengan dua ribu empat belas itu seperti apa.
Kalau Bapak masih merasa tidak ada yang salah dengan soal-soal itu, saya ceritai sesuatu deh Pak. Bapak tahu tidak, saat hari kedua UNAS, saya sempat mengingat-ingat dua soal Matematika yang tidak saya bisa. Saya ingat-ingat sampai ke pilihan jawabannya sekalipun. Kemudian, setelah UNAS selesai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk menanyakan dua soal itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau dan saya tunggu. Lalu, hasilnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya setelah berkutat dengan dua soal itu selama sepuluh menit. Ya... beliau bilang ada yang salah dengan kedua soal itu. Tetapi yang ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan heran...
Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yang guru saya saja belum tentu bisa menjawabnya?
Tidak diuji dulukah kevalidan soal-soal UNAS itu?
Bapak ujikan ke siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester enam?
Lupakah Bapak bahwa nanti yang akan menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar kelas tiga SMA dari seluruh Indonesia?
Haruskah saya ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini masih ada banyak sekolah-sekolah yang jangankan mencicipi soal berstandard Internasional, dilengkapi dengan fasilitas pengajaran yang layak saja sudah sujud syukur?
Etiskah menuntut sebelum memberi?
Etiskah memberi kami soal berstandard Internasional di saat Bapak belum mampu memastikan bahwa seluruh Indonesia ini siap untuk soal setingkat itu?
Pada bagian ini, Bapak mungkin akan teringat dengan berita, 'Pelajar Mengatakan bahwa UNAS Menyenangkan'. Kemudian Bapak akan merasa tidak percaya dengan semua yang sudah saya katakan. Kalau sudah begitu, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tidak percaya kenapa ada yang bisa mengatakan bahwa UNAS kemarin menyenangkan. Awalnya saya malah mengira bahwa itu sarkasme, sebab sejujurnya, tidak sedikit teman-teman saya yang menangis sesudah mengerjakan Biologi. Mereka menangis lagi setelah Matematika dan Kimia. Lalu airmata mereka juga masih keluar seusai mengerjakan Fisika. Sekarang, di mana letak 'UNAS menyenangkan' itu? Bagi saya, hanya ada dua jawabannya; antara narasumber berita itu memang sangat pintar, atau dia menempuh jalan pintas...
Jalan pintas itu adalah hal ketiga yang menganggu pikiran saya selama UNAS ini. Sebuah bentuk kecurangan yang tidak pernah saya pahami mengapa bisa terjadi, yaitu joki.
Mengapa saya tidak paham joki itu bisa terjadi? Sebab, setiap tahun pemerintah selalu gembar-gembor bahwa "Soal UNAS aman! Tidak akan bocor! Pasti terjamin steril dan bersih!", tetapi ketika hari H pelaksanaan... voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus. Jika bocor itu paling-paling hanya lima puluh persen benar, ini ada joki yang bisa sampai sembilan puluh persen akurat. Sembilan puluh persen! Astaghfirullah hal adzim, itu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir. Kemudian ajaibnya pula, yang sudah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi hal ini sepanjang yang saya lihat baru satu: menambah tipe soal! Kalau sewaktu saya SD dulu tipe UNAS hanya satu, sewaktu SMP beranak-pinak menjadi lima. Puncaknya sewaktu SMA ini, berkembang-biak menjadi 20 paket soal. Pemerintah agaknya menganggap bahwa banyaknya paket soal akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS dapat berjalan mulus, murni, bersih, sebersih pakaian yang dicuci pakai detergen mahal.
Iya langsung bersih cling begitu, toh?
Nyatanya tidak.
Sekalipun dengan 20 paket soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus jawabannya. Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu saya, mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di tiap paket agar para siswa bisa mencari yang mana paket mereka. Lho, kok bisa? Ya entah. Tidak sampai di sana, jawaban yang mereka berikan pun bisa tembus sampai di atas sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah. Seperti yang saya bilang, kalau sudah sampai sembilan puluh persen akurat begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir bandang. Saat joki sudah bisa menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah sebuah misteri Ilahi jika pemerintah masih sanggup bersumpah tidak ada main-main dari pihak dalam.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya memang hanya pelajar biasa. Tapi saya juga bisa membedakan mana jawaban yang mengandalkan dukun dan mana jawaban yang didapat karena sempat melihat soal. Apa salah kalau akhirnya saya mempertanyakan kredibilitas tim penyusun dan pencetak soal? Sebab jujur saja, air hujan tidak akan menetesi lantai rumah jika tidak ada kebocoran di atapnya.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... tiga hal yang saya paparkan di atas sudah sejak lama menggumpal di hati dan pikiran saya, menggedor-gedor batas kemampuan saya, menekan keyakinan dan iman saya.
Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yang sedemikian inilah yang memacu kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tidak... saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman saya yang tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan diri pada materi yang diajarkan oleh para guru, dan berdoa dengan khusyuk. Tetapi setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan itu, tekad mereka luruh. Saat dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban yang disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tidak lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka... berharap Tuhan membantu.
Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yang terpaksa curang setelah mereka belajar tetapi soal yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yang tak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS, kami telah melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan dan doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yang benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UNAS kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih 'ah, ini bukan bidang saya', lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?
Tidak.
Tentu saja Bapak tidak sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sampai terpikir untuk membuat dua puluh paket soal, padahal lima paket saja belum tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sengaja meletakkan persentase UNAS di atas persentase nilai sekolah untuk nilai akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UNAS itu di atas kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan merasa perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya... mungkin Bapak bahkan tidak akan merasa perlu untuk mengadakan UNAS.
.........
.........
.........
Anda akan mengatakan kalimat klise itu, Pak, bahwa nilai itu tidak penting, yang penting itu kejujuran.
Tapi tahukah, bahwa kebijakan Bapak sangat kontradiktif dengan kata-kata Bapak itu? Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak meletakkan bobot UNAS (yang hanya berlangsung tiga hari tanpa jaminan bahwa siswa yang menjalani berada dalam kondisi optimalnya) di atas bobot nilai sekolah (yang selama tiga tahun sudah susah payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir kami. Bapak secara tidak langsung menekankan bahwa UNAS itu penting, dan itulah kenyataannya, Pak. Itulah kenyataan yang membuat kami, para pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak bahwa kepercayaan diri siswa mudah hancur? Pertahanan kami semakin remuk ketika kami dihadapkan oleh soal yang berada di luar pengalaman kami. Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelumnya? Bahwa soal yang di luar kemampuan kami, soal yang luput Bapak sosialisasikan kepada kami meskipun persiapan UNAS tidak hanya satu-dua minggu dan Bapak sebetulnya punya banyak kesempatan jika saja Bapak mau, sesungguhnya bisa membuat kami mengalami mental breakdown yang sangat kuat? Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelum memutuskan untuk mengeluarkan soal-soal tidak berperikesiswaan itu dalam UNAS, yang notabene adalah penentu kelulusan kami?
Pada akhirnya, Pak, izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yang sudah Bapak lakukan sejauh ini tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yang masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tidak tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan yang baik, apa yang Bapak lakukan dengan UNAS selama tiga hari ini justru mengarahkan kami kepada jati diri yang buruk. Tingkat kesulitan yang belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yang tidak pernah diusut sampai tuntas letak kebocorannya, paket soal yang belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru mengarahkan kami, para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh target lulus seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dengan sekolah lain yang kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tidak dipersulit.
Sampai sini, masih beranikah Bapak katakan bahwa tidak ada yang salah dengan UNAS? Ada yang salah, Pak. Ada lubang yang menganga sangat besar tidak hanya pada UNAS tetapi juga pada sistem pendidikan di negeri ini. Siapa yang salah? Barangkali sekolah yang salah, karena telah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yang tak benar. Barangkali kami yang salah, karena kami terlalu pengecut untuk mempertahankan kejujuran. Barangkali joki-joki itu yang salah, karena mereka menjual kecurangan dan melecehkan ilmu untuk mendapat uang.
Tapi tidak salah jugakah pemerintah? Tidak salah jugakah tim penyusun UNAS? Tidak salah jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Bukankah sudah menjadi tugas Bapak selaku yang berwenang untuk memastikan bahwa kesempatan untuk berlaku curang itu tidak ada?
Mungkin Bapak tidak akan percaya pada saya, dan Bapak akan berkata, "Kita lihat saja hasilnya nanti."
Kemudian sebulan lagi ketika hasil yang keluar membahagiakan, ketika angka delapan dan sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semua protes yang saya sampaikan. Bapak akan menganggap ini semua angin lalu. Bapak akan berpesta di atas grafik indah itu, menggelar ucapan selamat kepada mereka yang lulus, kepada tim UNAS, kepada diri Bapak sendiri, dan Bapak akan lupa. Bapak yang saya yakin sudah berkali-kali mendengar pepatah 'don't judge a book by its cover', akan lupa untuk melihat ke balik kover indah itu. Bapak akan melupakan kemungkinan bahwa yang Bapak lihat itu adalah hasil kerja para 'ghost writer UNAS'. Bapak akan lupa untuk bertanya kepada diri Bapak, berapa persen dari grafik itu yang mengerjakan dengan jujur? Kemudian Bapak akan memutuskan bahwa Indonesia sudah siap dengan UNAS berstandard Internasional, padahal kenyataannya belum. Joki-jokinyalah yang sudah siap, bukan kami. Mengerikan bukan, Pak, efek dari tidak terusut tuntasnya joki di negeri ini? Mengerikan bukan, Pak, ketika kebohongan menjelma menjadi kebenaran semu?
Bapak, tiga hari ini, kami yang jujur sudah menelan pil pahit. Pil pahit karena ketika kami berusaha begitu keras, beberapa teman kami dengan nyamannya tertidur pulas karena sudah mendapat wangsit sebelum ulangan. Pil pahit karena ketika kami masih harus berjuang menjawab beberapa soal di waktu yang semakin sempit, beberapa teman kami membuat keributan dengan santai, sedangkan para pengawas terlalu takut untuk menegur karena sudah ada perjanjian antar sekolah. Pil pahit, karena kami tidak tahu hasil apa yang akan kami terima nanti, apakah kami bisa tersenyum, ataukah harus menangis lagi...
Berhentilah bersembunyi di balik kata-kata, "Saya percaya masih ada yang jujur di generasi muda kita". Ya ampun Pak, kalau hanya itu saya juga percaya. Tetapi masalahnya bukan ada atau tidak ada, melainkan berapa, dan banyakan yang mana? Sebab yang akan Bapak lihat di grafik itu adalah grafik mayoritas. Bagaimana jika mayoritas justru yang tidak jujur, Pak? Cobalah, untuk kali ini saja tanyakan ke dalam hati Bapak, berapa persen siswa yang bisa dijamin jujur dalam UNAS, dibandingkan dengan yang hanya jujur di atas kertas?
(Ngomong-ngomong, Pak, banyak dosa bisa menyebabkan negara celaka. Kalau mau membantu mengurangi dosa masyarakat Indonesia, saya punya satu usul efektif. Hapuskan kolom 'saya mengerjakan ujian dengan jujur' dari lembar jawaban UNAS.)
UNAS bukan hal remeh, Pak, sama sekali bukan; terutama ketika hasilnya dijadikan parameter kelulusan siswa, parameter hasil belajar tiga tahun, sekaligus pertimbangan layak tidaknya kami untuk masuk universitas tujuan kami. Jika derajat UNAS diletakkan setinggi itu, mestinya kredibilitas UNAS juga dijunjung tinggi pula. Mestinya tak ada cerita tentang soal bocor, bobot tidak merata, dan tingkat kesulitan luput disosialisasikan ke siswa.
Kejujuran itu awalnya sakit, tapi buahnya manis.
Dan saya tahu itu, Pak.
Tapi bukankah Pengadilan Negeri tetap ada meski kita semua tahu keadilan pasti akan menang?
Bukankah satuan kepolisian masih terus merekrut polisi-polisi baru meski kita semua tahu kebenaran pasti akan menang?
Dan bukankah itu tugas Bapak dan instansi-instansi pendidikan, untuk menunjukkan pada kami, para generasi muda, bahwa kejujuran itu layak untuk dicoba dan tidak mustahil untuk dilakukan?
Kejujuran itu awalnya sakit, buahnya manis.
Tapi itu bukan alasan bagi Bapak untuk menutup mata terhadap kecurangan yang terjadi di wilayah kewenangan Bapak.
Kami yang berusaha jujur masih belum tahu bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Tapi barangkali hal itu terlalu remeh jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri yang bejibun dan jauh lebih berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman pelajar cuma satu; tolong, perbaikilah UNAS, perbaikilah sistem pendidikan di negeri ini, dan kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan pada kami bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang tidak akan diam saat melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya. Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba...
Dari anakmu yang meredam sakit,
Pelajar yang baru saja mengikuti UNAS.

Rabu, 06 Maret 2013

7 kebiasaan yang memperkaya hidup



Files under Cerita Motivasi, Tips | Posted by admin
7 kebiasaan yang memperkaya hidup
1. Kebiasaan mengucap syukur.
Ini adalah kebiasaan istimewa yang bisa mengubah hidup selalu menjadi lebih baik. Bahkan agama mendorong kita bersyukur tidak saja untuk hal-hal yang baik , tapi juga dalam kesussahan dan hari-hari yang buruk.. Ada rahasia besar dibalik ucapan syukur yang sudah terbukti sepanjang sejarah. Hellen Keller yang buta dan tuli sejak usia dua tahun , telah menjadi orang yang terkenal dan dikagumi diseluruh dunia. Salah satu ucapannya yang banyak memotivasi orang adalah “Aku bersyukur atas cacat-cacat ini aku menemukan diriku, pekerjaanku dan Tuhanku”. Memang sulit untuk bersyukur,namun kita bisa belajar secara bertahap. Mulailah mensyukuri kehidupan, mensyukuri berkat , kesehatan, keluarga, sahabat dsb. Lama kelamaan Anda bahkan bisa bersyukur atas kesusahan dan situasi yang buruk.
2. Kebiasaan berpikir positif.
Hidup kita dibentuk oleh apa yang paling sering kita pikirkan. Kalau selalu berpikiran positif, kita cenderung menjadi pribadi yang yang positif. Ciri-ciri dari pikiran yang positif selalu mengarah kepada kebenaran, kebaikan, kasih sayang, harapan dan suka cita. Sering-seringlah memantau apa yang sedang Anda pikirkan. Kalau Anda terbenam dalam pikiran negatif, kendalikanlah segera kearah yang positif. Jadikanlah berpikir positif sebagai kebiasaan dan lihatlah betapa banyak hal-hal positif sebagai kebiasaan dan lihatlah betapa banyak hal-hal positif yang akan Anda alami.
3. Kebiasaan berempati.
Kemampuan berhubungan dengan orang lain merupakan kelebihan yang dimiliki oleh banyak orang sukses. Dan salah satu unsur penting dalam berhubungan dengan orang lain adalah empati, kemampuan atau kepekaan untuk memandang dari sudut pandang orang lain.Orang yang empati bahkan bisa merasakan perasaan orang lain . Orang yang empati bahkan bisa merasakan perasaan orang lain, mengerti keinginannya dan menangkap motif dibalik sikap orang lain. Ini berlawanan sekali dengan sikap egois , yang justru menuntut diperhatikan dan dimengerti orang lain. Meskipun tidak semua orang mudah berempati , namun kita bisa belajar dengan membiasakan diri melakukan tindakan-tindakan yang empatik. Misalnya, jadilah pendengar yang baik, belajarlah menempatkan diri pada posisi orang lain, belajarlah melakukan apa yang Anda ingin orang lain lakukankepada Anda, dsb.
4. Kebiasaan mendahulukan yang penting .
Pikirkanlah apa saja yang paling penting, dan dahulukanlah!. Jangan biarkan hidup Anda terjebak dalam hal-hal yang tidak penting sementara hal-hal yang penting terabaikan. Mulailah memilah-milah mana yang penting dan mana yg tidak, kebiasaan mendahulukan yang penting akan membuat hidup Anda efektif dan produktif dan meningkatkan citra diri Anda secara signifikan.
5. Kebiasaan bertindak.
Bila Anda sudah mempunyai pengetahuan , sudah mempunyai tujuan yang hendak dicapai dan sudah mempunyai kesadaran mengenai apa yang harus dilakukan , maka langkah selanjutnya adalah bertindak. Biasakan untuk mengahargai waktu, lawanlah rasa malas dengan bersikap aktif. Banyak orang yang gagal dalam hidup karena hanya mempunyai impian dan hanya mempunyai tujuan tapi tak mau melangkah.
6. Kebiasaan menabur benih.
Prinsip tabur benih ini berlaku dalam kehidupan. Pada waktunya Anda akan menuai yang Anda tabur. Bayangkanlah , betapa kayanya hidup Anda bila Anda selalu menebar benih ‘kebaikan’. Tapi sebaliknya, betapa miskinnya Anda bila rajin menabur keburukan.
7. Kebiasaan hidup jujur.
Tanpa kejujuran , kita tidak bisa menjadi pribadiyang utuh, bahkan bisa merusak harga diri dan masa depan Anda sendiri. Mulailah membiasakan diri bersikap jujur, tidak saja kepada diri sendir tapi juga terhadap orang lain. Mulailah mengatakan kebenaran, meskipun mengandung resiko. Bila Anda berbohong , kendalikanlah kebohongan Anda sedikit demi sedikit

Menunda Kesenangan Kecil Demi Kesuksesan Besar



Files under Cerita Motivasi | Posted by admin
Menunda Kesenangan Kecil Demi Kesuksesan BesarSeberapa banyak yang ingin kita raih di dalam hidup ini ?
Apakah kita telah puas dengan kondisi saat ini, ataukah masih ada keinginan untuk terus menggapai hal-hal baru, yang selama ini belum kita dapatkan ?
Dalam proses kita untuk mencapai tujuan itu, ada rintangan yang seringkali menghambat langkah kita sesaat. Saat kita bisa menyelesaikan rintangan itu, akan membuat langkah kita ke depan menjadi semakin kuat dan mantap. Tapi kadang-kadang, seringkali tanpa sadar, saat kita bisa menyelesaikan suatu masalah, kita merasa sudah puas dengan kondisi itu, dan langkah kita terhenti disana.
Kita seolah sudah lupa, bahwa tujuan utama kita sebenarnya belum tercapai. Ibaratnya, saat kita bersekolah, kita mendapat nilai sepuluh dalam sebuah test harian. Dan kita sudah cukup puas dengan nilai itu, padahal ujian-ujian itu tadi hanyalah proses-proses sementara, karena bukankah tujuan utama dalam bersekolah adalah naik kelas, dan lulus ? Kesenangan-2 kecil, tentu perlu juga dirayakan, karena bisa memberikan kebahagiaan, kebanggaan dan kesenangan sementara. Tapi tentu kita tidak boleh terlena di dalamnya lalu berhenti disana. Setelah kesenangan itu selesai dirayakan, kita harus kembali bekerja keras pada jalur utama yang kita tuju. Orang-orang yang sukses di dunia ini, mereka bahkan berani menunda kenikmatan kecil mereka, demi sebuah tujuan utama yang lebih besar.
Sebuah kisah nyata yang tepat bagaimana kita menunda kesenangan kecil demi mendapatkan kesuksesan yang lebih besar, adalah Sylvester Stallone. Dia memang kini salah satu aktor termahal di Hollywood, tapi tahukah anda bagaimana dia memulai karirnya ? Stallone lahir dari sebuah keluarga miskin di Amerika. Walau demikian, latar belakang keluarga tidak menghalanginya untuk bermimpi menjadi seorang bintang besar. Saat remaja, dia sudah sering mencoba casting di beberapa film murahan, namun itupun tidak pernah berhasil. Suatu saat, Stallone terinspirasi pada sebuah pertandingan tinju, yang membuatnya menulis tentang manuscipt film olahraga tinju, “Rocky”.
Setelah selesai, Stallone mencoba menawarkan skrip-nya kepada berbagai perusahaan film, tapi tidak ada yang mau membelinya, karena pada saat itu memang film dengan latar belakang tinju tidak laku di pasaran. Sampai akhirnya, ada sebuah perusahaan yang mau menawar harga naskah film tersebut sebesar 75.000 dollar, sejumlah uang yang nilainya puluhan kali lipat dari uang yang pernah dimiliki Stallone.
Saat itu, ada kebimbangan di dalam hatinya. Uang itu, cukup untuk membuatnya hidup lebih layak dan makmur. Tapi di sisi lain, Stallone ingin menjadi seorang bintang, seorang aktor terkenal, bukan seorang penulis naskah film. Jadi Stallone mencoba menawarkan kepada perusahaan film tersebut, agar dia yang menjadi aktor utamanya. Mereka menolak, karena mereka sudah memilih seorang aktor yang sudah berpengalaman untuk film tersebut, dibanding Stallone yang tidak punya latar belakang dan pengalaman di film. Negosiasi menjadi alot, karena Stallone menolak menjual naskah tersebut jika bukan dia yang menjadi pemeran utamanya. Bahkan saat harga naskah itu meningkat tiga kali lipat, dan terus meningkat hingga satu juta dollar, Stallone tetap menolaknya. Walau ia miskin dan lapar, tapi dia berani menolak uang satu juta dollar, hanya karena dia sudah punya impian yang kuat, bahwa dengan menjadi aktor, dia bisa memperoleh uang jauh lebih banyak dari uang satu juta dollar.
Akhirnya, perusahaan film itu menyerah juga, dan mereka mengijinkan Stallone menjadi pemeran utama, dengan syarat naskah itu dijual hanya dengan harga 35.000 dollar, serta Stallone hanya akan mendapat bayaran sebagai aktor sejumlah persentase tertentu jika film itu cukup laku di pasaran. Sebuah pilihan berisiko tinggi diambil oleh Stallone. Mengorbankan uang 75.000 dollar, dan hanya mendapatkan 35.000 dollar plus tambahan lagi beberapa ribu dollar jika film itu laris. Semua orang di sekitarnya mengatakan bahwa keputusan itu adalah keputusan terburuk yang pernah diambil Stallone. Tapi Stallone tidak menggubris itu semua, karena di hatinya dia tahu, bahwa yang dia lakukan ini hanyalah menunda kesenangan sesaat, untuk mendapatkan kesenangan lain yang lebih besar.
Pada waktu film Rocky diluncurkan, bukan saja film itu menjadi laris, tapi bahkan menjadi box office di seluruh dunia, dengan total penjualan bersih menjadi 171 juta dollar, meraih 10 nominasi untuk academy awards, serta mendapatkan satu piala Oscar. Secara spontan, Stallone langsung naik daun menjadi aktor kelas atas Hollywood, dan tawaran main film kelas satupun mulai berdatangan ke dirinya. Apa yang dialami oleh Sylvester Stallone adalah sebuah pilihan untuk berani menunda kesenangan-kesenang an kecil, dan berjuang untuk meraih kesuksesan yang lebih tinggi lagi.
Jangan pernah terjebak dengan kenyamanan sementara, yang kadang membuat kita merasa sudah puas, padahal bukan itu sebenarnya yang kita inginkan. Nikmati hasil sementaranya, tapi tetaplah punya visi ke depan yang jelas, untuk terus mengejarnya. Sukses untuk anda !


Minggu, 03 Maret 2013

Nilai Kehidupan


Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara. Pendidikan rendah, hidup dari bekerja sebagai buruh tani milik tuan tanah yang kaya raya. Walapun hidupnya sederhana tetapi sesungguhnya dia bisa melewati kesehariannya dengan baik.

Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa, dan tidak memiliki arti.

"Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri saja kehidupan ini," katanya dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat menggantung diri di sebatang pohon.

Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut. "Anak muda yang tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur ini. Sayang, bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ, bernyanyi riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini."

Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya."

Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah dedaunanku. Tolong jangan mati di sini."

Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, "Bahkan sebatang pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak patah, tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi makhluk lain".

Segera timbul kesadaran baru. "Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas aku melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan bekerja dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain".

Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.

=================================================

Kalau kita mengisi kehidupan ini dengan menggerutu, mengeluh, dan pesimis, tentu kita menjalani hidup ini (dengan) terasa terbeban dan saat tidak mampu lagi menahan akan memungkinkan kita mengambil jalan pintas yaitu bunuh diri.

Sebaliknya, kalau kita mampu menyadari sebenarnya kehidupan ini begitu indah dan menggairahkan, tentu kita akan menghargai kehidupan ini. Kita akan mengisi kehidupan kita, setiap hari penuh dengan optimisme, penuh harapan dan cita-cita yang diperjuangkan, serta mampu bergaul dengan manusia-manusia lainnya.

Maka, jangan melayani perasaan negatif. Usir segera. Biasakan memelihara pikiran positif, sikap positif, dan tindakan positif. Dengan demikian kita akan menjalani kehidupan ini penuh dengan syukur, semangat, dan sukses luar biasa!

Sumber : andriewongso.com

Pesan Ibu


Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, "Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya!"
"Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.
Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, "Tidak Dik, saya sudah kenyang."
Sambil terus mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om."
Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."
Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?"
"Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu."
Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu."
Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."
===================================================
Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.
Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.
Sumber : andriewongso.com

Kebiasaan yang Diulang


Di Tiongkok pada zaman dahulu kala, hidup seorang panglima perang yang terkenal karena memiliki keahlian memanah yang tiada tandingannya. Suatu hari, sang panglima ingin memperlihatkan keahliannya memanah kepada rakyat. Lalu diperintahkan kepada prajurit bawahannya agar menyiapkan papan sasaran serta 100 buah anak panah.
Setelah semuanya siap, kemudian Sang Panglima memasuki lapangan dengan penuh percaya diri, lengkap dengan perangkat memanah di tangannya.
Panglima mulai menarik busur dan melepas satu persatu anak panah itu ke arah sasaran. Rakyat bersorak sorai menyaksikan kehebatan anak panah yang melesat! Sungguh luar biasa! Seratus kali anak panah dilepas, 100 anak panah tepat mengenai sasaran.
Dengan wajah berseri-seri penuh kebanggaan, panglima berucap, "Rakyatku, lihatlah panglimamu! Saat ini, keahlian memanahku tidak ada tandingannya. Bagaimana pendapat kalian?"
Di antara kata-kata pujian yang diucapkan oleh banyak orang, tiba-tiba seorang tua penjual minyak menyelutuk, "Panglima memang hebat ! Tetapi, itu hanya keahlian yang didapat dari kebiasaan yang terlatih."
Sontak panglima dan seluruh yang hadir memandang dengan tercengang dan bertanya-tanya, apa maksud perkataan orang tua penjual minyak itu. Tukang minyak menjawab, "Tunggu sebentar!" Sambil beranjak dari tempatnya, dia mengambil sebuah uang koin Tiongkok kuno yang berlubang di tengahnya. Koin itu diletakkan di atas mulut botol guci minyak yang kosong. Dengan penuh keyakinan, si penjual minyak mengambil gayung penuh berisi minyak, dan kemudian menuangkan dari atas melalui lubang kecil di tengah koin tadi sampai botol guci terisi penuh. Hebatnya, tidak ada setetes pun minyak yang mengenai permukaan koin tersebut!
Panglima dan rakyat tercengang. Merela bersorak sorai menyaksikan demonstrasi keahlian si penjual minyak. Dengan penuh kerendahan hati, tukang minyak membungkukkan badan menghormat di hadapan panglima sambil mengucapkan kalimat bijaknya, "Itu hanya keahlian yang didapat dari kebiasaan yang terlatih! Kebiasaan yang diulang terus menerus akan melahirkan keahlian."
=============================================================,
Dari cerita tadi, kita bisa mengambil satu hikmah yaitu: betapa luar biasanya kekuatan kebiasaan. Habit is power!
Hasil dari kebiasaan yang terlatih dapat membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah dan apa yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Demikian pula, untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan, kita membutuhkan karakter sukses. Dan karakter sukses hanya bisa dibentuk melalui kebiasaan-kebiasaan seperti berpikir positif, antusias, optimis, disiplin, integritas, tanggung jawab, & lain sebagainya.
Mari kita siap melatih, memelihara, dan mengembangkan kebiasaan berpikir sukses dan bermental sukses secara berkesinambungan. Sehingga, karakter sukses yang telah terbentuk akan membawa kita pada puncak kesuksesan di setiap perjuangan kehidupan kita.
Sekali lagi: Kebiasaan yang diulang terus menerus, akan melahirkan keahlian!
Sumber : andriewongso.com

5 Ekor Monyet


monyet di resensi,netDalam suatu penelitian yang dilakukan oleh para profesor di USA, ada 2 ekor monyet yang dimasukkan ke dalam satu ruangan kosong secara bersama-2. Kita sebut saja monyet tersebut Monyet A dan B. Di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah tiang, dan diatas tiang tersebut nampak beberapa pisang yang sudah matang. Apa yang akan dilakukan oleh 2 monyet tersebut menurut anda ?
Setelah membiasakan diri dengan keadaan lingkungan di dalam ruangan tersebut, mereka mulai mencoba meraih pisang-2 tersebut. Monyet A yang mula-2 mencoba mendaki tiang. Begitu monyet A berada di tengah tiang, sang profesor menyemprotkan air kepadanya, sehingga terpleset dan jatuh. Monyet A mencoba lagi, dan disemprot, jatuh lagi, demikian berkali-2 sampai akhirnya monyet A menyerah. Giliran berikutnya monyet B yang mencoba, mengalami kejadian serupa, dan akhirnya menyerah pula.

Berikutnya ke dalam ruangan dimasukkan monyet C. Yang menarik adalah, para profesor tidak akan lagi menyemprot para monyet jika mereka naik. Begitu si monyet C mulai menyentuh tiang, dia langsung ditarik oleh monyet A dan B. Mereka berusaha mencegah, agar monyet C tidak mengalami `kesialan’ seperti mereka. Karena dicegah terus dan diberi nasehat tentang bahayanya bila mencoba memanjat keatas, monyet C akhirnya takut juga dan tidak pernah memanjat lagi.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh para profesor adalah mengeluarkan monyet A dan B, serta memasukkan monyet D dan E. Sama seperti monyet-2 sebelumnya, monyet D dan E juga tertarik dengan pisang diatas tiang dan mencoba memanjatnya. Monyet C secara spontan langsung mencegah keduanya agar tidak naik. “Hai, mengapa kami tidak boleh naik ?” protes keduanya”.
Ada teman-2 yang memberitahu saya, bahwa naik ke atas itu berbahaya. Saya juga tidak tahu, ada apa di atas, tapi lebih baik cari aman saja, jangan keatas deh” jelas monyet C.
Monyet D percaya dan tidak berani naik, tapi tidak demikian dengan monyet E yang memang bandel. “Saya ingin tahu, bahaya seperti apa sih, yang ada di atas … Dan kalau ada bahaya, masak iya saya tidak bisa menghindarinya ?” tegas monyet E. Walaupun sudah dicegah oleh monyet C dan D, monyet E nekad naik …
Dan karena memang sudah tidak disemprot lagi, monyet E bisa meraih pisang yang d iinginkannya…..
Renungan
================== Manakah diantara karakter diatas yang menggambarkan tingkah laku anda saat ini ?
Karakter A dan B adalah orang yang pernah melakukan sesuatu, dan gagal. Karena itu mereka kapok, tidak akan mengulanginya lagi, dan berusaha mengajarkan ke orang lain tentang kegagalan tersebut. Mereka tidak ingin orang lain juga gagal seperti mereka. Karakter C dan D, adalah orang yang menerima petunjuk dari orang lain, hal-2 apa yang tidak boleh dilakukan, dan mereka mematuhinya tanpa berani mencobanya sendiri. Karakter E adalah type orang yang tidak mudah percaya dengan sesuatu, sebelum mereka mencobanya sendiri. Mereka juga berani menentang arus dan menanggung resiko asalkan bisa mencapai keinginan mereka.
Pisang dalam cerita diatas menggambarkan impian kita. Setiap orang dalam hidup ini mempunyai impian yang tinggi tentang masa depannya. Namun sayangnya, banyak sekali hal-hal yang terjadi di sekitar kita, yang menyebabkan impian kita terkubur. Orang-2 dengan karakter ABCD akan mengatakan kepada kita hal-2 seperti ini”,Sudahlah, jangan melakukan pekerjaan yang sia-2 seperti itu. Percuma. Saya dulu sudah pernah melakukannya berkali-2 dan gagal. Sebagai seorang teman yang baik, saya tidak mau kamu gagal seperti saya” atau mungkin kalimat “Kamu mau gagal kayak si X … lebih baik lakukan sesuatu yang pasti-pasti saja deh”. Bukankah hal-2 seperti itu yang sering kita dengar sehari-2 ?
Orang dengan karakter E akan selalu berpikir optimis dalam menjalankan sesuatu. “Kalaupun orang lain gagal melakukan sesuatu, belum tentu saya juga akan gagal” adalah kekuatan yang selalu memompa motivasinya.
Dan kegagalan orang lain dapat dipelajari dan dijadikan batu loncatan untuk melangkah lebih baik, bukannya dijadikan suatu ketakutan.
Nah, saya akan memberikan satu ilustrasi lagi. Saya akan membawa anda ke tahun 70-an. Apa yang akan anda lakukan, bila suatu hari ada seorang mahasiswa bercelana jeans, kacamata tebal, bertampang culun, bajunya lusuh, datang menemui anda dan berkata “Saya punya suatu produk yang bagus, tapi saya tidak punya modal. Mau gak pinjamin saya modal 100 dollar ? Kalau produk ini sukses, kita berdua bakal jadi orang paling kaya di dunia lho”.
Hampir semua akan menghina dan mentertawakan mahasiswa tsb, bahkan mungkin menganggapnya gila.
Berapa orang yang akan menjawab “Wow, bagus sekali, coba jelaskan apa rencana anda, agar kita bisa sama-2 kaya ?” Mungkin satu orang diantara sejuta, mungkin juga tidak ada.
Bagaimana kalau saya katakan bahwa mahasiswa tersebut adalah Bill Gates, yang kini sudah mencapai impiannya menjadi orang terkaya di dunia ?
Bukankah itu dulu yang dilakukan Bill Gates pada awal karirnya . Dikelilingi orang type ABCD, ditolak, dilecehkan, dan berbagai macam hinaan lainnya. Untungnya, Bill Gates termasuk orang dengan karakter E. Dan dengan pengorbanan dan kerja keras, dia berhasil meraih impiannya.
" Jangan biarkan orang lain membunuh impian anda. Maju terus, hadapi semua rintangan dan raih impian anda. "
Sumber : resensi.net
 

cerita motivasi, inspirasi , nilai kehidupan Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting